Dalam suatu aktifitas korporasi, sangat sering seorang CEO menegur manajer HRD nya dan bertanya : ”kenapa pekerja atau staff yang pada saat menandatangani perjanjian kerja di korporasi tersebut terlihat tersenyum dan manggut manggut, tetapi setelah lebih dari setahun menjadi ‘bengal’, susah diatur dan berindikasi melawan kebijakan korporasi?”
Mungkinkah karena pada awal sang pekerja, dia manggut manggut karena membutuhkan pekerjaan itu, tetapi setelah dia berada di dalam korporasi barulah kelihatan sifat dan tindakan tindakan aslinya?
Dan sang manajer pun sulit untuk menjelaskan nya, meskipun pelatihan, program pengembangan karyawan pun sudah dijalankan.
Di dalam ilmu Human Resources diajarkan tentang Motivasi , Perilaku , Kepuasan Kerja , Komunikasi Karyawan , bahkan sampai kepada ‘Hubungan Industrial’.
Tetapi semua itu tidak bisa berjalan seperti yang diinginkan korporasi, karena masalah utama yang ada sering sekali karena “MINDSET” yang berbeda satu sama lain, bahkan sering berbeda antara atasan bawahan, antar departemen, antar Board of Directors dengan para Manajer nya.
Tidak heran kalau manajer HRD menjadi sasaran pertanyaan yang tak kunjung habis, apalagi kalau iklim di korporasi semakin tidak kondusif, terasa bersama tetapi berbeda.
Serasa satu kapal satu tujuan tetapi berbeda pola pikirnya.
Maka sudah saatnya CEO berpikir ulang bagaimana menata kembali mindset seluruh karyawannya agar mempunyai satu tujuan dalam satu kapal dengan pola pikir dan semangat yang sama, mempunyai sense of belonging yang tinggi terhadap korporasi tempat nya berkarya.
CEO, bersama Board of Directors menyu sun program untuk menyatukan mindset didalam korporasinya dan membicarakannya terlebih dahulu dengan Board of Commisioners yang mewakili shareholders,agar rencana besar ini juga sesuai dengan keinginan dan kemauan shareholders.
Jadilah perumusan perumusan agar program ini tidak mengganggu operasional korporasi, bahkan harus memperbaiki sedikit demi sedikit kinerja yang sesuai dengan komitmen mindset yang baru.
Memang, sangat jarang masalah mindset ini dituliskan dalam teori teori Human Resources, karena hal ini berbeda antar satu korporasi dengan korporasi lainnya, dan dengan standard masing masing sesuai dengan pandangan pandangan para shareholders.
Sebenarnya bersatunya mindset akan lebih mempermudah pencapaian visi misi, karena pola pikir yang sama akan mempermudah menerapkan teori motivasi, komunikasi antar karyawan, mengontrol perilaku mereka, dan membuat harmonisasi dengan Serikat Pekerja bersama Kementrian Tenaga Kerja di wilayahnya yang mewakili Pemerintah
Mungkinkah karena pada awal sang pekerja, dia manggut manggut karena membutuhkan pekerjaan itu, tetapi setelah dia berada di dalam korporasi barulah kelihatan sifat dan tindakan tindakan aslinya?
Dan sang manajer pun sulit untuk menjelaskan nya, meskipun pelatihan, program pengembangan karyawan pun sudah dijalankan.
Di dalam ilmu Human Resources diajarkan tentang Motivasi , Perilaku , Kepuasan Kerja , Komunikasi Karyawan , bahkan sampai kepada ‘Hubungan Industrial’.
Tetapi semua itu tidak bisa berjalan seperti yang diinginkan korporasi, karena masalah utama yang ada sering sekali karena “MINDSET” yang berbeda satu sama lain, bahkan sering berbeda antara atasan bawahan, antar departemen, antar Board of Directors dengan para Manajer nya.
Tidak heran kalau manajer HRD menjadi sasaran pertanyaan yang tak kunjung habis, apalagi kalau iklim di korporasi semakin tidak kondusif, terasa bersama tetapi berbeda.
Serasa satu kapal satu tujuan tetapi berbeda pola pikirnya.
Maka sudah saatnya CEO berpikir ulang bagaimana menata kembali mindset seluruh karyawannya agar mempunyai satu tujuan dalam satu kapal dengan pola pikir dan semangat yang sama, mempunyai sense of belonging yang tinggi terhadap korporasi tempat nya berkarya.
CEO, bersama Board of Directors menyu sun program untuk menyatukan mindset didalam korporasinya dan membicarakannya terlebih dahulu dengan Board of Commisioners yang mewakili shareholders,agar rencana besar ini juga sesuai dengan keinginan dan kemauan shareholders.
Jadilah perumusan perumusan agar program ini tidak mengganggu operasional korporasi, bahkan harus memperbaiki sedikit demi sedikit kinerja yang sesuai dengan komitmen mindset yang baru.
Memang, sangat jarang masalah mindset ini dituliskan dalam teori teori Human Resources, karena hal ini berbeda antar satu korporasi dengan korporasi lainnya, dan dengan standard masing masing sesuai dengan pandangan pandangan para shareholders.
Sebenarnya bersatunya mindset akan lebih mempermudah pencapaian visi misi, karena pola pikir yang sama akan mempermudah menerapkan teori motivasi, komunikasi antar karyawan, mengontrol perilaku mereka, dan membuat harmonisasi dengan Serikat Pekerja bersama Kementrian Tenaga Kerja di wilayahnya yang mewakili Pemerintah
Sangat penting mendalami teori teori motivasi ini, karena sebelum menyamakan mindset seluruh jajaran yang ada di korporasinya, para manajer HRD maupun para manajer lainnya, baik yang di lapangan maupun di office.
Mengetahui terlebih dahulu apakah itu motivasi dan bagaimana memotivasi anggota anggotanya agar mempermudah menjalankan tugas dan mencapai performance kerja yang optimal.
Paling tidak ada 4 pelopor teori motivasi ini, yang dimulai dari Abraham H Maslow dengan membahas 5 tingkatan kebutuhan manusia (kebutuhan fisiological, sandang pangan, kebutuhan keamanan fisik,mental dan psikologi, kebutuhan sosial, kebutuhan prestise dan kebutuhan aktualisasi diri) pada era 1940 an.
Diteruskan oleh Clayton Aldefer yang menyingkat teori di atas menjadi hanya 3 bagian, diteruskan lagi oleh Herzberg yang memperkenalkan “model dua faktor” yaitu faktor motivasi dan pemeliharaan yang bersifat ekstrinsik.
Dan yang paling menarik adalah Column mindset Setting apa yang dikatakan oleh Victor H. Vroom dalam bukunya Work And Motivationyang banyak disebut orang sebagai Teori Harapan.
Ini sangat sesuai dengan apa yang diinginkan seseorang dalam bekerja yaitu, apabila seseorang sangat mengingin kan sesuatu, dan kelihatan jalan menuju ke arah tujuan itu terbuka untuk dicapai, maka yang bersangkutan tadi akan berusaha untuk menggapainya.
Sebaliknya apabila harapan untuk memperoleh yang diinginkannya sangat tipis ,maka motivasinya akan sangat rendah.
Apabila seorang CEO, Manajer, Supervisor, dan juga Manajer HRD mengetahui dan memahami teori teori motivasi di atas, maka akan lebih mudah mereka itu menjelaskan apa saja yang menjadi tujuan sang karyawan yang sesuai dengan kebutuhan korporasi, dan bagaimana memacunya untuk mencapainya, baik melalui pelatihan dan pengembangan, tour of duty, penilaian performance dan feedback nya ke mereka.
Sehingga ada tolok ukur yang jelas dalam mengevaluasi tujuan, pencapaian, dan pembenahan atau koreksi kalau diperlukan.
Pemahaman motivasi sangat berdampak untuk kinerja karyawan, yang berujung kepada kepuasan kerja karyawan, kerjasama, dan integritas serta dedikasi kepada korporasi.
Hal hal di atas sudah harus ada dalam setiap konsep kerja atasan dan HRD. l
Mengetahui terlebih dahulu apakah itu motivasi dan bagaimana memotivasi anggota anggotanya agar mempermudah menjalankan tugas dan mencapai performance kerja yang optimal.
Paling tidak ada 4 pelopor teori motivasi ini, yang dimulai dari Abraham H Maslow dengan membahas 5 tingkatan kebutuhan manusia (kebutuhan fisiological, sandang pangan, kebutuhan keamanan fisik,mental dan psikologi, kebutuhan sosial, kebutuhan prestise dan kebutuhan aktualisasi diri) pada era 1940 an.
Diteruskan oleh Clayton Aldefer yang menyingkat teori di atas menjadi hanya 3 bagian, diteruskan lagi oleh Herzberg yang memperkenalkan “model dua faktor” yaitu faktor motivasi dan pemeliharaan yang bersifat ekstrinsik.
Dan yang paling menarik adalah Column mindset Setting apa yang dikatakan oleh Victor H. Vroom dalam bukunya Work And Motivationyang banyak disebut orang sebagai Teori Harapan.
Ini sangat sesuai dengan apa yang diinginkan seseorang dalam bekerja yaitu, apabila seseorang sangat mengingin kan sesuatu, dan kelihatan jalan menuju ke arah tujuan itu terbuka untuk dicapai, maka yang bersangkutan tadi akan berusaha untuk menggapainya.
Sebaliknya apabila harapan untuk memperoleh yang diinginkannya sangat tipis ,maka motivasinya akan sangat rendah.
Apabila seorang CEO, Manajer, Supervisor, dan juga Manajer HRD mengetahui dan memahami teori teori motivasi di atas, maka akan lebih mudah mereka itu menjelaskan apa saja yang menjadi tujuan sang karyawan yang sesuai dengan kebutuhan korporasi, dan bagaimana memacunya untuk mencapainya, baik melalui pelatihan dan pengembangan, tour of duty, penilaian performance dan feedback nya ke mereka.
Sehingga ada tolok ukur yang jelas dalam mengevaluasi tujuan, pencapaian, dan pembenahan atau koreksi kalau diperlukan.
Pemahaman motivasi sangat berdampak untuk kinerja karyawan, yang berujung kepada kepuasan kerja karyawan, kerjasama, dan integritas serta dedikasi kepada korporasi.
Hal hal di atas sudah harus ada dalam setiap konsep kerja atasan dan HRD. l
(Bersambung)
Penulis adalah Penasehat Lembaga Pusat Studi dan Komunikasi Pemerintahan (PUSKOPEM),
Managing Director PT. Victory Jaya Perkasa dan pendiri Yayasan Quantum Galaxi
eddie.priyono@yahoo.com
Managing Director PT. Victory Jaya Perkasa dan pendiri Yayasan Quantum Galaxi
eddie.priyono@yahoo.com
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.