Human Capital Journal
No. 16 ,Tahun II ,15 Oktober - 15 November 2012.
( bagian kedua /akhir)
Drs Eddie Priyono MM
Penasehat Lembaga PUSKOPEM , Managing Director PT Victory Group.
mindset For all
Pada era 70 sampai 80an, dimana Jepang sedang sangat booming industrinya, sangat terkenal di Indonesia ini yang disebut ‘teori mur baut’.
Andaikan mur dan baut yang dipunyai tidak klop satu sama lain, cepat putuskan buang salah satunya, karena masih banyak mur ataupun baut yang lain yang bisa dipakai.
Ini akan lebih effisien, murah dan cepat.Teori ini ingin mengatakan, tenagakerja yang tidak sesuai dengan fungsi dan tugasnya, lebih baik diganti saja.
Banyak tenaga lain yang siap menggantikannya
.
Berbeda dengan philosophy di banyak negara Eropa, yang berusaha memperbaiki mur ataupun bautnya, sehingga klop dan bisa masuk satu sama lain.
Terasa lebih manusiawi, meskipun harus memakan waktu dan biaya di dalam ’mereparasi’ tenaga kerjanya melalui pelatihan dan pengembangan.
CEO dan Board of Director boleh memilih salah satunya, atau mencoba kombinasi dengan cara mereparasi dulu, dan seandainya dalam waktu tertentu tidak juga berubah, maka akan diputuskan lebih baik dibuang dan diganti yang lainnya.
Pada suatu korporasi yang menjadi anak perusahaan Jepang disini, bahkan membuat suatu kebijakan yang mengacu kepada kerasnya disiplin di pabriknya.
Bukan hanya dengan peraturan peraturan untuk ‘good manufacturing’ saja, tetapi juga dengan physical menggunakan seragam baju, celana dan sepatu cats yang sama, mulai tukang sapu sampai dengan CEO disaat bekerja dipabrik.
Perbedaan hanya di topi mereka, yang polos untuk buruh, strip merah untuk supervisor
dan strip kuning untuk senior manajer sampai dengan Direktur.
Inipun dengan catatan ada strip satu sampai tiga sesuai jenjang jabatan mereka.
Kondisi seperti instansi kemiliteran ini akan lebih mudah mempressure karyawannya untuk tidak hanya disiplin, tetapi physically mengatur mindset bahwa kemauan atasan, adalah kemauan korporasi yang harus diikuti,dalam satu mindset.
Just take it or leave it.
Namun hal seperti ini sangat sulit dijalankan di perkantoran, karena ada kesan pemaksaan, apalagi bagi karyawan wanita, bahkan ke Board
of Director yang merasa lebih hebat dan tinggi dibandingkan karyawan nya.
Mindset bukanlah yang terlihat secara fisik, karena sebenarnya mindset lebih kepada pola pikir,attitude, semangat teamwork dalam bekerja, untuk mencapai kepuasan kerja bersama didalam korporasi.
Di dalam operasional salah satu perusahaan multi nasional di Indonesia, para Shareholders yang diwakili majority shareholders mengadakan suatu perencanaan menata ulang mindset para karyawannya disini.
Sangat logis, mengingat situasi yang berkembang.
Operating Profit di anak perusahaan tersebut cenderung menaik, tetapi Nett Profitnya stagnan, karena
pembayaran angsuran hutang korporasi plus bunganya.
Yang sangat mengkhawatirkan mereka adalah market share yang terus menurun, yang berarti total market yang berkembang tetapi pembagian ‘kue’nya tidak ikut dinikmati korporasi.
Hal ini disebabkan mindset yang sudah puas dengan hasil operating profit yang menaik.
Dalam penyusunan Board of Director baru, para shareholders dan Board of Commisioner sepakat untuk memberikan beban menata ulang mindset ini kepada tim yang baru.
Maka setelah selesai RUPS dengan tim yang baru,CEO dan para direkturnya membahas penataan ulang mindset ini.
Mindset dikelompokkan dalam penyusunan mindset direktorat, di bawah Direktur masing masing, baik itu direktorat pemasaran, penjualan, produksi dan lain lain termasuk direktorat HRD sendiri.
Mindset atasan harus ‘benar’ terlebih dahulu, agar mereka bisa menata mindset bawahannya dan seterusnya.
Para direktur pun harus sudah siap dengan program program di direktoratnya termasuk pembahasan attitude, personality, behaviuor, background pendidikan sampai kehal hal yang detil secara confidential dengan mendapatkan data datanya dari HRD maupun atasan atau orang yang dipercaya mengetahui pola pikir dan pola bertindak, orang perorang.
Sangat rawan munculnya faktor subyektif di sini, tetapi CEO yg baik dan berpengalaman pasti sudah bisa membaca dari intuisi dan body language para direkturnya.
Bahkan seorang CEO pun harus terbebas dari subyektifitasnya menata ulang mindset ini.
Dalam hal ini diperlukan kejujuran dalam berpikir dan bertindak.
Setelah program2 ini disusun, BOD meeting untuk segera menetapkan jadwal pelaksanaan, membicarakan hasilnya setiap minggu.
Harus selalu diingat, bahwa pekerjaan menata ulang ini penting tetapi harus tetap mementingkan operasional korporasi. Bahkan dalam operational review itulah bisa dibaca apakah penataan ulang mindsetini sudah mulai dilakukan oleh para manajer dan staffnya.
Penataan ulang mindset ini tidak pernah sama antara teori, penerapan, dan hasil, itulah perlunya memulai penataan ulang dengan hal hal yang sangat sepele,sambil masuk ke dalam irama nya para manajer dan staff.
Sehingga mereka mengubah mindsetnya seirama dengan gaya dan cara atasannya.
Semoga.
eddie.priyono@yahoo.com
Sangat logis, mengingat situasi yang berkembang.
Operating Profit di anak perusahaan tersebut cenderung menaik, tetapi Nett Profitnya stagnan, karena
pembayaran angsuran hutang korporasi plus bunganya.
Yang sangat mengkhawatirkan mereka adalah market share yang terus menurun, yang berarti total market yang berkembang tetapi pembagian ‘kue’nya tidak ikut dinikmati korporasi.
Hal ini disebabkan mindset yang sudah puas dengan hasil operating profit yang menaik.
Dalam penyusunan Board of Director baru, para shareholders dan Board of Commisioner sepakat untuk memberikan beban menata ulang mindset ini kepada tim yang baru.
Maka setelah selesai RUPS dengan tim yang baru,CEO dan para direkturnya membahas penataan ulang mindset ini.
Mindset dikelompokkan dalam penyusunan mindset direktorat, di bawah Direktur masing masing, baik itu direktorat pemasaran, penjualan, produksi dan lain lain termasuk direktorat HRD sendiri.
Mindset atasan harus ‘benar’ terlebih dahulu, agar mereka bisa menata mindset bawahannya dan seterusnya.
Para direktur pun harus sudah siap dengan program program di direktoratnya termasuk pembahasan attitude, personality, behaviuor, background pendidikan sampai kehal hal yang detil secara confidential dengan mendapatkan data datanya dari HRD maupun atasan atau orang yang dipercaya mengetahui pola pikir dan pola bertindak, orang perorang.
Sangat rawan munculnya faktor subyektif di sini, tetapi CEO yg baik dan berpengalaman pasti sudah bisa membaca dari intuisi dan body language para direkturnya.
Bahkan seorang CEO pun harus terbebas dari subyektifitasnya menata ulang mindset ini.
Dalam hal ini diperlukan kejujuran dalam berpikir dan bertindak.
Setelah program2 ini disusun, BOD meeting untuk segera menetapkan jadwal pelaksanaan, membicarakan hasilnya setiap minggu.
Harus selalu diingat, bahwa pekerjaan menata ulang ini penting tetapi harus tetap mementingkan operasional korporasi. Bahkan dalam operational review itulah bisa dibaca apakah penataan ulang mindsetini sudah mulai dilakukan oleh para manajer dan staffnya.
Penataan ulang mindset ini tidak pernah sama antara teori, penerapan, dan hasil, itulah perlunya memulai penataan ulang dengan hal hal yang sangat sepele,sambil masuk ke dalam irama nya para manajer dan staff.
Sehingga mereka mengubah mindsetnya seirama dengan gaya dan cara atasannya.
Semoga.
eddie.priyono@yahoo.com
1 komentar:
.. mindset setting...juga harus dilaksanakan di pemerintahan....
.. laaa kalo pikiran yg ada di presiden..berbeda dgn menterinya...trusss gimana ???
.. kalo ada rencana reshufle kabinet misalnya.....mindset dari presiden dan wakilnya seharusnya sama dulu....hehe
.. kalo ga sama kan jadi kapal bernahkoda dua ??
.. untuk direnungkan...sumonggo.
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.