PUBLISHED di " HUMAN CAPITAL JOURNAL " Magazine.
Drs Eddie Priyono MM .
Seseorang, bertanya kepada teman yang
sering dan sudah 9 kali berpindah pindah tempat kerja. Kenapa sih dirimu tidak
mempunyai loyalitas yang tinggi, dan terus berganti tempat kerja seolah tidak ada puasnya?
Apakah
hanya memikirkan penghasilan tinggi, fasilitas kerja ,atau sekedar advonturir ?
Dan kapan dirimu akan mulai betah, setia ,
dan bertahan di satu tempat kerja ?
Suatu pertanyaan yang menggelitik, karena
seorang professional yang biasanya juga disebut talents atau super SDM, mempunyai pertimbangan yang
bervariasi dan private untuk pindah
kerja.
Benarkah ini suatu tanda,
bahwa semakin tinggi value
sang talent dan semakin banyak yang
membutuhkan profesionalisme nya, semakin besar kesempatannya untuk lompat pagar seenaknya ?
Dan itukah tanda ketidak setiaan nya ?
Atau , adakah peran HR juga yang menyebabkan talent memutuskan angkat koper dan mencari
tempat baru untuk menunjukkan kemampuannya.
Dalam dunia sepakbola professional,
hal ini jamak terjadi, seandainya seorang striker berpindah klub, untuk lebih
menunjukkan tajinya di klub baru dengan value yang lebih tinggi.
Mereka tidak sepenuhnya loyal kepada Klub nya,
tetapi mereka LOYAL kepada PROFESI
nya. Seorang Cristiano Ronaldo boleh
berganti klub setiap musim, tetapi dari profesi dia akan tetap berkiprah sebagai striker, dan bukan kiper.
Kesetiaan kepada profesi adalah hal yang
utama dan prisip , dan harus dipunyai
seorang talent, karena itulah keahlian yang
akan diberikan kepada korporasi.
Tetapi kesetiaan kepada korporasi berbeda dan mempunyai
banyak hal dibelakangnya, khususnya peran HR sebagai pengelola human resources
internal korporasi.
Ini menyangkut
penerapan aturan aturan baik dari Kementrian Tenaga Kerja maupun aturan
internal korporasi termasuk climate yang membuat seseorang betah atau gerah untuk berlama lama bekerja di korporasi tersebut.
Dalam fakta operasional, sangat sering seorang manajer HR ‘dipakai’ sebagai
bulldozer oleh sang CEO untuk menjalankan missi korporasi.
Hal yang sangat
wajar, seandainya itu masih dalam koridor aturan yang benar, tetapi kalau sudah
dipakai oleh sang CEO untuk menjalankan
ego dan hal hal yang berseberangan dengan aturan, maka si manajer HR sudah masuk kedalam blunder cycle yang merugikan korporasi
maupun si talent.
Seorang CEO tidak suka dan ingin membuang seorang Area
Manager di Jawa ke Jayapura, dengan harapan sang manajer akan mengundurkan
diri ?.
Itulah target dan keinginan CEO
maka iapun memerintahkan manajer
Operasional dan manajer HR untuk membuat
surat pindah.
Tanpa melakukan penelitian dan assessment, HR menjalankan
instruksi CEO.
Dua kerugian telah
terjadi, yaitu kerugian korporasi maupun si talent, karena kecerobohan ini.
Korporasi rugi, karena kalau area tersebut dimanage oleh seorang talent
berdasarkan assessment yang riil dan benar, tentu hasilnya akan jauh lebih
bagus daripada dimanage oleh seseorang
yang dibuang karena tidak disukai CEO.
Si talent rugi karena harus berangkat dengan
perasaan yang galau dan merasa dirinya dibuang oleh korporasi, atau , dia harus memutuskan berpindah kerja
lagi,seandainya dia sudah ready to go. Cerita extreme seperti ini kalau sampai benar terjadi
tentu sangat disayangkan, karena HR
telah ikut berperan menciptakan climate yang tidak kondusif dan merugikan
korporasi sendiri.
Kemungkinan akan
banyak sindiran yang akan terlontar dari internal korporasi , HR bukanlah HUMAN
RESOURCES , tetapi telah berubah
menjadi ” Hulubalang Raja” .
Berbagai
sudut pandang talent sebenarnya bisa dilihat dan dianalisis , karena bisa menjadi acuan HR sebagai pengelola SDM terutama terhadap talent yang menjadi asset penting korporasi.
HR
seharusnya menjadi pengayom SDM dan
talent, sekaligus garda terdepan pelaksana
aturan ketenaga kerjaan dan aturan korporasi sendiri.
Tidak ada alasan apapun
bagi lembaga HR, untuk lebih mementingkan ego dan kekuasaan Direksi , dengan
mengorbankan suasana dan kenyamanan kerja para SDM dan talent.
JOB
SATISFACTION vs HRD
Dalam bukunya ”ORGANIZATIONAL BEHAVIOR ”.Fred Luthan menulis tentang 5 job
dimensions yang mewakili characteristic pekerja dalam menentukan job
satisfactions.
1. The Work itself.
2. Pay , remuneration’
3. Promotion opportunities.
4. Supervision.
5. Coworkers and working group.
Jelas sekali yang dia sebutkan disini,
tetapi dia masih menambahkan satu kategori lagi,yaitu Working Conditions.
Dan inilah kunci untuk mengikat kelima karakter
diatas.
Peran dari HR sangat penting
untuk menjaga working conditions ini, mulai
dari sistim kebersihan yang terkoordinir
dengan baik, sampai dengan flexibelitas suasana kerja dalam koridor aturan aturan
dan lain lainnya .
Bukan sekedar menyenangkan Direksi dan mengorbankan value
dari working conditions.
Assesment ,
penilaian kinerja terhadap HR memang harus spesifik, untuk memberikan impresi kepada para talent
tentang fairness assessment , dan ini harus berani dilakukan oleh korporasi ,
untuk menjaga Working Conditions, bahkan menaikkan kenyamanan kerja ini ke
level yang lebih tinggi. Job satisfaction yang lebih baik dari tahun ketahun
sangat didambakan oleh para talent , karena dengan situasi ini , kinerja ,
inovasi , breakthrough dalam productivity , sampai ke peningkatan kwalitas
output korporasi akan lebih sering terjadi, yang akan menyebabkan posisi
korporasi meningkat di industrinya , baik yang bersifat tangible maupun
intangibles.
Value improvement seperti
ini sangat didambakan para Shareholders, Dewan Komisaris , Dewan Direksi, seluruh
‘penghuni korporasi’, sampai kepada pelaksana jalur distribusi ke customers
termasuk pengguna produk dan jasa korporasi tersebut.
Balance score card untuk HR memang
mengandung hal hal yang juga bersifat abstrak, bisa dirasakan , tetapi sulit untuk dilihat dengan mata kepala ,
apalagi oleh seseorang dari external korporasi. Assesment HR secara tahunan
bukan hanya berisi penggunaan anggaran ,pelaksanaan rekruitmen tepat waktu dan
terpenuhi kwalitas dan kwantitas , evaluasi
in out karyawan ,pelaksanaan training terskedul maupun adhoc , hubungan
tripartite yang harmonis dan lain lainnya.
Tetapi hal paling sulit, salah
satunya adalah mengukur tensi job
satisfaction di internal korporasi.
Working Conditions yang dikatakan talent terkadang bersifat subyektif, dan tidak mewakili yang dirasakan oleh mayoritas.
Working Conditions yang dikatakan talent terkadang bersifat subyektif, dan tidak mewakili yang dirasakan oleh mayoritas.
Hal ini sebenarnya tidak perlu dirisaukan, karena tolok ukur
realistis adalah , betahnya para SDM dan talent, berkurangnya kwantitas yang
meninggalkan korporasi , dan tebaran senyum para penghuni korporasi karena
suasana nyaman ,walau seberat apapun tantangan yang ada , baik yang internal
maupun dari competitor.
Mindset yang positif dan konstruktif , adalah buah
karya terberat HR.
Seorang HR yang berusaha untuk selalu mendatangi departemen
lain, berkomunikasi setiap saat dengan konsep mendengarkan ,berfungsi sebagai
pengayom bagi semuanya, dan menjalankan fungsi structural sebagai tulang
punggung CEO, untuk menjalankan
instruksi instruksinya sesuai aturan main yang benar dan menguntungkan korporasi
dan SDM nya.
Jangan biarkan para talent memulai selingkuh , dengan melirik kanan kiri korporasi mencari tempat yang
lebih nyaman buatnya.
Bukan hanya materi
yang diinginkan ,seperti kata Fred Luthan diatas , tetapi lebih kepada working
conditions yang digelutinya sehari hari.
Jangan biarkan teman diatas bertindak
SE-TI-A, selingkuh tiada akhir ,
mencari tempat bekerja yang kesepuluh.
Tetapi biarkan dia menikmati working conditions yang baik di korporasi ini, denagan kata SETIA yang sebenarnya.
Semoga.
eddie.priyono@yahoo.com
220516
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.