Surat kabar 'SUARA MERDEKA" Semarang, Jawa Tengah, 9 Oktober 2007.
judul :'Mudik Lebaran dan Investasi Daerah'.
Drs Eddie Priyono MM.
ADA yang menarik di balik fenomena mudik Lebaran.
Ritual umat itu sangat penting untuk dicermati para pengambil keputusan pemerintahan, baik pada tingkat nasional maupun daerah.
Namun, mungkin tidak menarik lagi jika kita hanya menonton iring-iringan motor pemudik dari Jakarta ke segenap pelosok di Pulau Jawa, karena reportase yang kita saksikan di layar kaca selalu merupakan "siaran ulangan" yang rutin terjadi setiap kali lebaran, tanpa pernah memikirkan ada apa sesungguhnya di balik fenomena itu.
Persis, alasan kita membenarkan ketimpangan itu adalah "di mana ada gula di sana ada semut".
Padahal kebijakan para pengambil keputusan itulah, yang dengan sengaja "mencecerkan gula-gula" secara terkonsentrasi di suatu wilayah, sementara itu daerah-daerah yang berserakan, berpulau-pulau di wilayah Nusantara ini tidak terjamah oleh "ceceran gula" pembangunan.
Ada semacam penyakit yang kita (juga mungkin para pengambil kebijakan negeri ini) derita, bahwa kebiasaan melihat potret Jakarta, seolah-olah para pemimpin itu telah melihat "wajah Indonesia" secara keseluruhan.
"Penyakit" itu juga mungkin menghinggapi para legislator dan senator di Senayan, sehingga "keberpihakannya" bagi investasi pembangunan di daerah tidak memperlihatkan gereget semangat perjuangan untuk daerah.
Akibatnya, "gula-gula" yang bertaburan di sekitar Jabotabek memang telah menarik jutaan "semut" untuk melakukan urbanisasi ke Jakarta.
Pertumbuhan ekonomi telah semakin menggelembungkan kekuatan Jakarta, sehingga dibutuhkan kota-kota satelit di sekitarnya sebagai penyangga, kawasan-kawasan berikat industri bertumbuh, dan karenanya urbanisasi pun semakin tak terhindarkan.
Meskipun kemudian setiap gubernur DKI Jakarta bersuara lantang untuk menekan laju urbanisasi, namun teriakan itu selalu sia-sia karena pemerintah pusat tidak secara strategis terencana mengantisipasi solusi sejatinya.
Masalah besar yang dihadapi bangsa ini adalah distribusi investasi.
Memang telah banyak upaya yang dilakukan pemerintah pusat untuk pemerataan pembangunan dengan penetapan zona-zona baru pertumbuhan ekonomi di berbagai daerah.
Namun kebijakan itu tidak pernah secara konsisten dijalankan, apalagi dalam masa frekuensi pergantian rezim pemerintahan beberapa kali pada masa reformasi ini.
Pemerintah pusat terlihat sibuk bekerja beberapa tahun; setelah itu sibuk lagi mempersiapkan upaya pemenangan pemilu berikutnya.
Tapi, apakah layak jika kita terlalu berharap dari pemerintah pusat untuk mengubah nasib kita di daerah?
Kata kitab suci, "Alloh SWT tidak akan mengubah nasib seseorang (suatu kaum) kecuali orang itu mengubah nasibnya sendiri".
Artinya, kita jangan menyerahkan nasib kepada orang lain, termasuk kebergantungan kepada kebijakan pemerintah pusat.
Pemeran Utama
Kemandirian pemerintah daerah kini telah kita miliki.
Pemerintah daerah bersama masyarakat menjadi pemeran utama dalam melukis potret wajah masa depan daerahnya.
Peluang itu ada di tangan Pemda.
Para pemimpin di daerah telah menjelma menjadi seorang yang sangat menentukan bagi masa depan daerahnya, dan tidak bergantung (amat) di bawah bayang-bayang pemerintah pusat.
Gubernur, bupati, dan wali kota adalah sosok pemimpin yang mengendalikan lingkungan dengan memanfaatkan perubahan itu untuk kinerja daerah yang terus meningkat.
Mereka memahami betapa penting arti value creation dalam menjalankan roda organisasi "korporasi" yang bernama pemerintah daerah (pemda).
Persoalannya adalah, setelah otonomi daerah, daerah-daerah kemudian berlomba-lomba memperlihatkan capaian kinerja yang justru jauh lebih baik daripada kinerja pemerintah pusat.
Ketika di pusat tengah terjadi hiruk-pikuk berbagai perdebatan politik yang tak berarti dan hanya menghabiskan energi dan pikiran para pemimpin, maka sesungguhnya daerah "dengan pemimpin-pemimpinnya yang berkarakter" telah melakukan lompatan-lompatan besar dalam konteks manajerial pemerintah yang baik
.
Bupati dan wali kota telah menjelma menjadi "CEO-CEO korporasi" yang patut diperhitungkan. Mereka sangat memahami bagaimana seharusnya daerah menerapkan tata kelola pemerintahan yang baik, menumbuhsuburkan kehidupan demokrasi, memberikan peluang yang adil bagi segenap elemen masyarakat untuk berbisnis dan berekspresi, memberikan pembelaan berarti bagi pertumbuhan industri kecil dan menengah, serta mencari dan menjalin akses pasar bagi perekonomian UMKM baik di pasar nasional maupun di pasar global.
Tidak Berdaya
Memang tidak semua daerah bisa dengan segera menyesuaikan diri dengan angin perubahan itu. Persoalan yang rata-rata dihadapi adalah mengapa pemda-pemda di Indonesia "tidak berdaya" dalam mempromosikan wilayahnya sebagai kawasan investasi yang menarik bagi investor domestik dan asing?
Hanya beberapa daerah saja di Indonesia yang memiliki corporate communication atau corporate secretary yang luar biasa aktif dalam mempromosikan daerahnya kepada para investor.
Roadshow dilakukan tidak hanya di Jakarta, namun juga meretas batas-batas nasional hingga ke Jepang, Korea, Rusia, Amerika, Inggris, dan berbagai negara lain.
Namun, sebagian besar masih terjebak pada bingkai pikiran birokratif yang masih alergi dalam menerapkan segi-segi manajemen modern dalam pengelolaan organisasinya.
Celakanya, roda pemerintahan kemudian hanya dijalankan dengan kegiatan yang sangat terbatas melalui APBD secara tradisional tanpa melakukan mainstream pendanaan pembangunan yang melibatkan pihak investor swasta dan kolaborasi lain yang secara profesional mendatangkan keuntungan dan benefit bagi daerah.
Melihat urgensi itu, maka sangat penting bagi pemerintahan kabupaten/kota untuk memiliki gugus tugas marketing communications di setiap kecamatan, setiap kabupaten/kota, dan setiap provinsi. Mereka sangat berperan sebagai garda depan dalam kegiatan roadshow investasi di daerah.
Sekali lagi, jangan serahkan "periuk nasi" kita kepada BKPM di pusat.
Pemerintah daerah harus secara proaktif melakukan kampanye dan komunikasi-investasi secara profesional kepada simpul-simpul kapital di tataran nasional, regional dan global.
Kalau pemerintah daerah tidak melakukan hal itu, maka tentu saja kita akan kembali menyaksikan ritual mudik lebaran sepanjang hayat.
Sekian generasi kita di masa depan juga akan melakukan hal yang sama tanpa pernah kita merasa bersalah untuk mengubahnya.
- Eddie Priyono, praktisi dan pemerhati bisnis, pendiri Quantum Four Consulting, alumnus Undip.
eddie.priyono@yahoo.com